Tantangan Pendidikan di Papua Nugini

Ditulis oleh Fenna Eelkema

Pendahuluan

Papua Nugini adalah negara indah yang terdiri dari 600 pulau dan berpenduduk 10 juta jiwa. Ada lebih dari 800 bahasa berbeda yang digunakan di Papua Nugini, menjadikannya salah satu negara dengan bahasa paling beragam di dunia. Setelah dijajah oleh berbagai negara selama 250 tahun, Papua Nugini akhirnya merdeka pada tahun 1975. Sejak memperoleh kemerdekaan tersebut, Papua Nugini berupaya memberikan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas bagi anak-anaknya. Terlepas dari upaya-upaya ini, Papua Nugini masih menghadapi tantangan pendidikan, seperti rendahnya angka literasi, tingginya angka putus sekolah, dan kekurangan guru. Selain itu, sekolah tidak dapat diakses oleh semua anak karena alasan keuangan, kesehatan, atau geografis.

Pendidikan di Papua Nugini

Di Papua Nugini, perjalanan menuju penyediaan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas telah mengalami beberapa transformasi selama lima puluh tahun terakhir. Pada tahun 1973, tonggak penting dicapai dengan berdirinya sistem pendidikan nasional terpadu yang pertama. Sistem ini mengadopsi struktur 6+4+2, dimana siswa menyelesaikan enam tahun di sekolah dasar, empat tahun di sekolah menengah atas, dan terakhir, dua tahun di sekolah menengah nasional atau langsung masuk perguruan tinggi. Terlepas dari niatnya, sistem yang kaku ini membatasi otonomi siswa dalam pembelajarannya, dan sektor pendidikan masih belum mencapai tujuan yang diinginkan.

Pada tahun 1990an, Papua Nugini membentuk sistem pendidikan baru sebagai respons terhadap kebutuhan akan perubahan. Strukturnya diubah menjadi 3+6+4, dengan tiga tahun di sekolah dasar, enam tahun di sekolah menenangah pertama, dan empat tahun di sekolah menengah atas. Pergeseran ini bertujuan untuk menerapkan kurikulum berbasis hasil yang dirancang untuk menyelaraskan pendidikan dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Namun, tantangan tetap ada, dan sistem pendidikan ini kesulitan mencapai tujuan yang diinginkan.

Oleh karena itu pada tahun 2021 terjadi transformasi lagi; struktur 1+6+6 yang baru diperkenalkan, menguraikan kurikulum yang dimulai dengan satu tahun Pendidikan dan Perkembangan Anak Usia Dini, diikuti oleh enam tahun pendidikan dasar dan tambahan enam tahun pendidikan menengah. Ciri khas dari struktur ini adalah mengadopsi kurikulum berbasis standar, menguraikan tolok ukur pembelajaran yang tepat bagi siswa dan memberikan pedoman yang jelas kepada pendidik untuk strategi pengajaran dan penilaian. Diharapkan struktur baru ini akan membantu meningkatkan pendidikan Papua Nugini bagi semua anak.

Tingkat literasi yang rendah

Rendahnya angka melek huruf di Papua Nugini telah menjadi kekhawatiran sejak lama; meskipun telah terjadi perbaikan dalam dua dekade terakhir, masih ada lebih dari tiga juta orang yang buta huruf. Pada tahun 2000, tingkat melek huruf adalah 57 persen; pada tahun 2010 sebesar 61%; dan pada tahun 2015, jumlahnya mencapai 63 persen. Kombinasi keragaman bahasa dan sumber daya yang tidak memadai turut menyebabkan permasalahan yang sudah berlangsung lama ini.

Tingginya angka putus sekolah juga menjadi alasan rendahnya angka melek huruf. Sekitar seperempat anak-anak berusia 6 hingga 18 tahun tidak bersekolah, dan tingkat transisi siswa sekolah dasar ke sekolah menengah pertama hanya 56%. Tekanan ekonomi/kemiskinan, tanggung jawab keluarga, atau sulitnya akses sekolah menjadi beberapa faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah.

Untuk menurunkan angka putus sekolah, beberapa sekolah menengah telah mulai menggunakan konsep FODE (Flexible Open Distance Education) atau Pendidikan Jarak Terbuka Fleksibel, yang memungkinkan siswa untuk melanjutkan pendidikan mereka di luar ruang kelas konvensional dengan fleksibilitas; siswa diperbolehkan untuk belajar sesuai keinginan mereka di komunitas mereka, sehingga membebaskan mereka dari keterbatasan pusat kota. Program ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan lebih dari 80.000 siswa kembali bersekolah.

Ingat: selalu ada sesuatu yang bisa membuat Anda tersenyum di dunia ini. Foto oleh Vika Chartier pada Unsplash

Kualitas pendidikan di daerah terpencil

Geografi Papua Nugini yang unik dan banyaknya daerah terpencil membuat penyediaan pendidikan berkualitas ke daerah-daerah yang sulit dijangkau ini menjadi sulit. Kunci pendidikan yang berkualitas adalah guru yang berkualitas. Sayangnya, terdapat kekurangan guru di seluruh Papua Nugini; Kekurangan ini sangat parah bahkan menyebabkan anak-anak tidak dapat bersekolah. Pada tahun 2016, terdapat sekitar 10.000 posisi pengajar yang kosong, dan sebagian besar lowongan tersebut berada di daerah terpencil. Menarik guru ke daerah-daerah terpencil terbukti merupakan perjuangan yang berat. Meskipun inisiatif-inisiatif seperti ‘tunjangan sekolah jarak jauh’ dan beasiswa telah dilakukan untuk mendorong para guru bekerja di daerah-daerah terpencil, rendahnya motivasi dan keengganan untuk bekerja di daerah-daerah terpencil telah berkontribusi pada kekurangan guru yang terus-menerus. Ada pula laporan guru yang berhak menerima tunjangan tersebut namun tidak menerimanya; hal ini membuat beberapa guru enggan melakukan pekerjaan terbaik mereka.

Banyak guru juga belum menerima pelatihan dalam jabatan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dana. Pemerintah selama ini mengandalkan donatur untuk membiayai, namun anggarannya tidak mencukupi. Selain itu, tidak ada struktur atau tempat pelatihan reguler untuk mendukung guru di sekolah. Saat ini, ketika sistem pendidikan sedang bertransformasi menjadi kurikulum berbasis standar 1+6+6, sangatlah penting bagi para guru untuk menerima pelatihan yang tepat agar dapat menerapkan kurikulum tersebut dengan tepat.

Masalah keuangan adalah alasan lain mengapa terjadi permasalahan di daerah terpencil. Keluarga-keluarga di daerah miskin dan terpencil seringkali tidak mampu membayar biaya sekolah, yang jumlahnya mencapai lebih dari setengah pendapatan mereka. Meskipun sebagian biaya sekolah dihapuskan oleh pemerintah pusat pada tahun 1993, sekolah masih mengenakan sejumlah biaya, sehingga menimbulkan hambatan keuangan yang menghambat akses yang adil terhadap pendidikan. Selain itu, kota-kota besar di wilayah perkotaan biasanya memiliki sekolah menengah setempat, sedangkan siswa di daerah terpencil sering kali bergantung pada sekolah berasrama provinsi; menyekolahkan anak Anda ke sekolah berasrama biasanya memerlukan biaya yang lebih besar, sehingga membuat keluarga tersebut mengalami kemunduran yang lebih signifikan.

Kemiskinan dan Pelayanan Kesehatan

Banyak anak di Papua Nugini menghadapi tantangan terkait kesehatan. Beberapa tantangan kesehatan ini berasal dari kemiskinan, yang secara tidak proporsional berdampak pada daerah terpencil dan pedesaan yang dimana 85 persen penduduknya tinggal.

Salah satu tantangan kesehatannya adalah cakupan imunisasi di Papua Nugini terhenti sekitar 60 persen selama hampir sepuluh tahun. Hal ini menempatkan anak-anak pada risiko terhadap penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan dikendalikan melalui vaksinasi. Selain itu, bagi banyak orang, sulitnya mengakses sanitasi dan air minum yang bersih; Hal ini membuat merka sulit untuk selalu menjaga kebersihan sehingga menyebabkan penyakit menular mudah menyebar di kalangan anak-anak.

Malnutrisi adalah masalah kesehatan lainnya di Papua Nugini, yang menjadi penyebab hampir separuh kematian balita. Hampir setengah dari seluruh anak berusia 6 hingga 59 bulan (5 tahun) mengalami pertumbuhan terhambat, yang mengindikasikan kekurangan gizi kronis selama periode kritis perkembangan. Stunting tidak hanya membahayakan peluang anak untuk bertahan hidup namun juga membahayakan kesehatan umum dan pertumbuhan kognitif anak, yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif jangka panjang.

Permasalahan lainnya adalah, bagi banyak orang, fasilitas kesehatan tidak mudah diakses. Rasio dokter terhadap penduduknya adalah satu dokter untuk setiap 17.068 orang, dibandingkan dengan Australia misalnya yang rasionya adalah satu dokter untuk setiap 302 orang. Selain itu, 90% dokter berada di daerah perkotaan, sedangkan 85% penduduknya tinggal di daerah pedesaan, sehingga jumlah dokter di daerah pedesaan tersebut semakin sedikit. Anak-anak sering kali tinggal berjam-jam jauhnya dari klinik kesehatan terdekat, harus menempuh perjalanan yang sulit dengan berjalan kaki, naik perahu, atau menggunakan transportasi lokal yang tidak dapat diandalkan. Kurangnya aksesibilitas ini memperburuk kesulitan anak-anak dalam memperoleh perawatan medis penting dan perawatan lainnya.

Karena letak geografisnya, Papua Nugini sering mengalami bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, tsunami, dan angin topan. Peristiwa ini mengancam kesehatan masyarakat, mengganggu layanan kesehatan, dan meningkatkan kerentanan yang ada.

Untuk mengatasi tantangan kesehatan ini, Papua Nugini harus fokus pada peningkatan layanan kesehatan umum, peningkatan cakupan imunisasi, promosi gizi yang lebih baik, peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan, dan penguatan kesiapsiagaan bencana. Dengan melakukan hal ini, Papua Nugini dapat mengambil langkah signifikan untuk menjamin masa depan yang lebih sehat dan menjanjikan bagi anak-anaknya.

Kesimpulan

Kesimpulannya, lanskap pendidikan di Papua Nugini ditandai dengan kemajuan dan tantangan yang terus-menerus. Sistem pendidikan telah mengalami banyak perubahan, dari struktur yang kaku menjadi pendekatan berbasis hasil. Penerapan struktur 1+6+6 baru-baru ini menunjukkan harapan untuk kurikulum yang lebih sukses. Namun, tantangan dalam pelatihan guru masih ada, yang mungkin berdampak pada hasil kurikulum baru ini.

Rendahnya angka literasi dan tingginya angka putus sekolah terus menghambat kemajuan. Inisiatif seperti Pendidikan Jarak Terbuka Fleksibel (FODE) telah menunjukkan potensi dalam mengatasi angka putus sekolah, namun masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan setiap anak mempunyai kesempatan untuk belajar.

Kurangnya guru yang berkualitas, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala besar karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa terwujud jika ada guru yang berkualitas. Upaya untuk menarik guru ke wilayah ini cukup efektif namun tidak sepenuhnya berhasil.

Hambatan keuangan, masalah kesehatan, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan juga menambah tantangan tersebut. Mengatasi tantangan-tantangan ini sangat penting untuk memastikan lingkungan belajar yang lebih sehat dan sukses bagi anak-anak.

Papua Nugini telah mencapai kemajuan signifikan dalam menyediakan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas. Meskipun perjalanan masih panjang, bangsa ini dapat menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anaknya dengan berupaya dan bekerja sama dengan berbagai organisasi.

Sumber

Papua New Guinea, Education and Literacy. UNESCO. Retrieved from: https://uis.unesco.org/en/country/pg.

Musoke, F. Taking WASH to hard-to-reach schools in Papua New Guinea (2023) UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/stories/taking-wash-hard-reach-schools-papua-new-guinea.

Papua New Guinea; Education, UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/what-we-do/education.

Sanitation in PNG: Estimating impacts and investments required to meet targets (2022) UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/media/2886/file/Sanitation in PNG.pdf.

Kara, A. Challenges of rural schools highlighted (2017) LOOP. Retrieved from: https://www.looppng.com/png-news/challenges-rural-schools-highlighted-67895.

Transforming education through FODE (2023) LOOP. Retrieved from: https://www.looppng.com/png-news/transforming-education-through-fode-121794.

Papua New Guinea: Educational System – overview, Education State University. Retrieved from: https://education.stateuniversity.com/pages/1166/Papua-New-Guinea-EDUCATIONAL-SYSTEM-OVERVIEW.html.

Devette-Chee, K. Illiteracy: A growing concern in Papua New Guinea (2021) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/images/Publications/Spotlight_Vol_14_Issue_7.pdf.

Goro, J. Is Papua New Guinea ready to implement the new 1+6+6 basic education system? (2021) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/index.php/news-events/research-corner/226-is-papua-new-guinea-ready-to-implement-the-new-1-6-6-basic-education-system.

Children in Papua New Guinea; a fair chance for every child, UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/children-papua-new-guinea.

Papua New Guinea; Health and Human wellbeing (2013) World Vision. Retrieved from: https://www.worldvision.com.au/docs/default-source/school-resources/global-education-png-nutrition.pdf?sfvrsn=2089ee3c_2.

Papua New Guinea tackling the maternal health crisis (2011) The New Humanitarian. Retrieved from: https://www.thenewhumanitarian.org/report/94352/papua-new-guinea-tackling-maternal-health-crisis.

Teacher shortage in PNG hurting rural students (2016) Radio New Zealand. Retrieved from: https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/302786/teacher-shortage-in-png-hurting-rural-students.

Devette-Chee, K. The challenges teachers in Papua New Guinea continue to face (2022) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/images/Publications/Spotlight_Vol_15_Issue_1.pdf.

featured image Bendera Papua Nugini. “Kumul” terbang tinggi pada 16 September 2022 melintasi Southern Cross. Foto oleh Spencer Wungin pada Unsplash

Beyond the Madinah: Membongkar Tantangan Pendidikan Maroko

Ditulis oleh Anastasia Bagration-Gruzinski

Maroko merupakan negara Afrika Utara yang berbatasan dengan Samudera Atlantik, Laut Mediterania, dan Aljazair. Negara ini memiliki populasi lebih dari 36 juta orang, menjadikannya negara dengan perekonomian terbesar kelima di Afrika. Meskipun Maroko adalah salah satu negara paling makmur dan stabil secara politik di kawasan ini, Maroko masih menghadapi beberapa tantangan pendidikan.

Menurut UNESCO, angka literasi di Maroko adalah 73%, dengan angka literasi 66% untuk perempuan dan angka literasi 79% untuk laki-laki. Meskipun angka ini merupakan kemajuan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, dimana daerah pedesaan memiliki tingkat literasi yang lebih rendah. Selain itu, kualitas pendidikan juga menjadi perhatian, dengan tingginya angka putus sekolah dan rendahnya tingkat prestasi pendidikan.

Dalam artikel ini, kami akan mengkaji tantangan pendidikan yang dihadapi Maroko, serta solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut.

Anak-anak sekolah mengagumi gerhana di Maroko. Foto oleh Universe Awareness

Tantangan yang Dihadapi Sistem Pendidikan Maroko

Kualitas Pendidikan

Salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi sistem pendidikan Maroko adalah kualitas pendidikan. Banyak siswa Maroko kesulitan dengan keterampilan dasar membaca dan menulis, yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah dan rendahnya tingkat prestasi. Menurut World Bank, hanya 36% siswa Maroko yang bersekolah di sekolah dasar menyelesaikan pendidikan menengah.

Kurangnya pendidikan yang berkualitas antara lain disebabkan oleh kurangnya guru yang berkualitas, khususnya di daerah pedesaan. Menurut laporan Kementerian Pendidikan Nasional, Pelatihan Kejuruan, Pendidikan Tinggi, dan Penelitian Ilmiah Maroko, terdapat kekurangan lebih dari 60.000 guru di negara tersebut. Kekurangan ini mengakibatkan ukuran kelas menjadi lebih besar, sehingga menyulitkan guru untuk memberikan perhatian individual kepada setiap siswa.

Akses terhadap Pendidikan

Meskipun pendidikan merupakan hal yang wajib di Maroko, banyak anak-anak, terutama yang berada di daerah pedesaan, tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Menurut laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF), sekitar 200.000 anak-anak Maroko berusia antara 7 dan 13 tahun tidak bersekolah. Anak perempuan merupakan kelompok yang paling terkena dampaknya, dan banyak keluarga yang lebih memilih untuk membiarkan anak perempuan mereka tetap di rumah untuk membantu pekerjaan rumah tangga atau menikahkan mereka di usia muda.

Selain itu, kemiskinan merupakan hambatan besar terhadap pendidikan di Maroko, karena banyak keluarga yang tidak mampu membeli perlengkapan sekolah dan seragam, serta transportasi ke dan dari sekolah.

Kurikulum dan Metode Pengajaran

Sistem pendidikan Maroko telah dikritik karena kurikulum dan metode pengajarannya yang ketinggalan jaman. Kurikulum yang ada saat ini tidak sejalan dengan kebutuhan dunia kerja modern dan tidak membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berhasil di abad ke-21.

Selain itu, metode pengajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Maroko sering kali sudah ketinggalan jaman dan sangat bergantung pada pembelajaran menghafal dan mengandalkan ingatan semata. Pendekatan ini tidak mendorong pemikiran kritis atau kreativitas, yang merupakan keterampilan penting di dunia saat ini yang berubah dengan cepat.

Ketimpangan Gender

Ketidaksetaraan gender merupakan tantangan besar dalam sistem pendidikan Maroko. Meskipun pemerintah telah mencapai kemajuan dalam mendorong pendidikan anak perempuan, masih terdapat kesenjangan gender yang signifikan dalam hal partisipasi dan prestasi. Menurut laporan UNESCO, angka partisipasi murni sekolah dasar untuk anak perempuan di Maroko adalah 87%, dibandingkan dengan 93% untuk anak laki-laki. Selain itu, tingkat prestasi anak perempuan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki, dan angka putus sekolah lebih tinggi.

Pelatihan dan Pengembangan Profesional Guru

Berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan profesional guru adalah salah satu solusi paling penting terhadap tantangan pendidikan di Maroko. Pemerintah Maroko harus memberikan lebih banyak kesempatan pelatihan bagi para guru untuk meningkatkan keterampilan mengajar mereka dan mempelajari pendekatan baru dalam mengajar.

Selain itu, pemerintah harus memberikan insentif kepada guru untuk bekerja di daerah pedesaan dengan memberikan mereka gaji, perumahan, dan tunjangan lainnya yang lebih baik. Pendekatan ini akan membantu mengatasi kekurangan guru berkualitas di daerah pedesaan dan memberikan siswa akses yang lebih baik terhadap pendidikan berkualitas.

Anak-anak di ruang kelas di Maroko. Foto oleh Antonio Cinotti.

Solusi untuk Tantangan Pendidikan di Maroko

Berinvestasi dalam Pelatihan Guru

Salah satu solusi paling penting terhadap tantangan pendidikan di Maroko adalah berinvestasi dalam pelatihan guru. Pemerintah Maroko harus memberikan lebih banyak kesempatan pelatihan bagi para guru untuk meningkatkan keterampilan mengajar mereka dan mempelajari pendekatan baru dalam mengajar.

Selain itu, pemerintah harus memberikan insentif kepada guru untuk bekerja di daerah pedesaan dengan memberikan mereka gaji, perumahan, dan tunjangan lainnya yang lebih baik. Pendekatan ini akan membantu mengatasi kekurangan guru berkualitas di daerah pedesaan dan memberikan siswa akses yang lebih baik terhadap pendidikan berkualitas.

Dasar Hukum Penyelesaiannya:

Menurut Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak atas pendidikan.” Hak atas pendidikan juga diakui dalam beberapa perjanjian hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) dan Konvensi Hak Anak (CRC). Kedua perjanjian ini mengakui hak atas pendidikan sebagai hak asasi manusia mendasar yang harus dapat diakses oleh semua orang, tanpa memandang gender, kelas sosial, atau lokasi geografis.

Memperluas Akses terhadap Pendidikan

Untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan di Maroko, pemerintah harus mempertimbangkan penerapan kebijakan yang menargetkan anak-anak dari latar belakang kurang beruntung. Kebijakan ini mungkin mencakup program bantuan keuangan, seperti beasiswa atau subsidi, untuk membantu keluarga menutupi biaya pendidikan.

Pemerintah Maroko juga dapat bermitra dengan organisasi non-pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperluas akses pendidikan di daerah pedesaan. Pendekatan ini dapat mencakup pembangunan sekolah baru, menyediakan transportasi ke dan dari sekolah, dan memastikan bahwa sekolah memiliki akses terhadap sumber daya dan materi yang diperlukan untuk menyediakan pendidikan berkualitas.

Pemutakhiran Kurikulum dan Metode Pengajaran

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Maroko, pemerintah harus memperbarui kurikulum dan metode pengajaran agar selaras dengan kebutuhan angkatan kerja modern. Hal ini dapat melibatkan penggabungan keterampilan yang lebih praktis, seperti kemampuan komputer, ke dalam kurikulum. Pemerintah juga harus mendorong pembelajaran berbasis proyek, yang mendorong pemikiran kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dibandingkan menghafal.

Lebih lanjut, pemerintah Maroko dapat berkolaborasi dengan organisasi internasional, seperti UNESCO, untuk mengembangkan materi pengajaran dan kurikulum baru yang lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan siswa Maroko.

Menutup Kesenjangan Gender

Maroko telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam mendorong pendidikan anak perempuan, namun masih terdapat kesenjangan gender dalam hal partisipasi dan prestasi. Untuk menutup kesenjangan ini, pemerintah harus fokus pada peningkatan akses terhadap pendidikan bagi anak perempuan, khususnya di daerah pedesaan.

Pemerintah dapat memberikan insentif bagi keluarga yang menyekolahkan putrinya, seperti beasiswa atau subsidi. Selain itu, pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah untuk menciptakan kampanye kesadaran yang mempromosikan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dan mengatasi sikap budaya yang menghalangi anak perempuan mengakses pendidikan.

Kerjasama Internasional

Kerja sama internasional sangat penting dalam mengatasi tantangan pendidikan di Maroko. Pemerintah Maroko dapat berkolaborasi dengan organisasi internasional, seperti World Bank dan UNESCO, untuk mendapatkan pendanaan bagi inisiatif pendidikan dan mendapatkan akses terhadap keahlian dan sumber daya.

Selain itu, pemerintah Maroko dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil mengatasi tantangan pendidikan serupa. Misalnya, Maroko dapat melihat negara-negara tetangganya, seperti Tunisia dan Aljazair, yang telah mencapai kemajuan signifikan dalam meningkatkan akses terhadap pendidikan dan mendorong kesetaraan gender dalam pendidikan.

Kesimpulan

Sistem pendidikan Maroko menghadapi beberapa tantangan, termasuk kualitas pendidikan, akses terhadap pendidikan, kurikulum dan metode pengajaran, serta ketidaksetaraan gender. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi tantangan ini, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua anak Maroko memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Maroko, pemerintah harus berinvestasi dalam pelatihan guru, memperluas akses terhadap pendidikan, memperbarui kurikulum dan metode pengajaran, dan menutup kesenjangan gender dalam partisipasi dan prestasi. Selain itu, kerja sama internasional sangat penting dalam mengatasi tantangan-tantangan ini, dan pemerintah Maroko harus berkolaborasi dengan organisasi-organisasi internasional dan belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil mengatasi tantangan pendidikan serupa.

Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, Maroko dapat meningkatkan prospek generasi mudanya, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi negaranya.

 

Bibliografi

“Country Profile: Morocco.” UNESCO UIS. Accessed March 25, 2023. https://uis.unesco.org/en/country/ma.

“Education in Morocco.” World Bank. Accessed March 25, 2023. https://www.worldbank.org/en/country/morocco/brief/education-in-morocco.

“Education and Training Monitor 2021: Morocco.” European Commission. Accessed March 25, 2023. https://ec.europa.eu/education/sites/default/files/monitor2021-ma_en.pdf.

“Girls’ Education in Morocco.” UNICEF. Accessed March 25, 2023. https://www.unicef.org/morocco/en/girls-education-morocco.

“Global Education Monitoring Report 2021: The Power of Education for Development.” UNESCO. Accessed March 25, 2023. https://en.unesco.org/gem-report/report/2021/power-education-development.

“In Morocco, Early Marriage and School Dropout are Closely Linked.” UNICEF. Accessed March 25, 2023. https://www.unicef.org/morocco/en/morocco-early-marriage-and-school-dropout-are-closely-linked.

“Morocco: Education for All 2015 National Review.” UNESCO. Accessed March 25, 2023. http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/FIELD/Rabat/pdf/Morocco-EFA-2015-National-Review-EN.pdf.

“Morocco Education Fact Sheet.” USAID. Accessed March 25, 2023. https://www.usaid.gov/morocco/fact-sheets/morocco-education-fact-sheet.

“Morocco: Gender Parity Index for Gross Enrollment Ratio in Primary Education.” World Bank. Accessed March 25, 2023. https://data.worldbank.org/indicator/SE.ENR.PRSC.FM.ZS?locations=MA.

“Morocco: Teacher Shortage Hampers Education.” World Bank. Accessed March 25, 2023. https://www.worldbank.org/en/news/feature/2014/11/24/morocco-teacher-shortage-hampers-education.

“Report on the Situation of Women and Girls in Rural Morocco.” United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. Accessed March 25, 2023. https://www.unwomen.org/-/media/headquarters/attachments/sections/library/publications/2019/rural-morocco-report-on-the-situation-of-women-and-girls-en.pdf?la=en&vs=2835.

“The Education System in Morocco.” Moroccan Ministry of National Education, Vocational Training, Higher Education, and Scientific Research. Accessed March 25, 2023. http://www.men.gov.ma/En/Pages/default.aspx.

“The Moroccan Constitution of 2011.” ConstitutionNet. Accessed March 25, 2023. https://constitutionnet.org/country/morocco.

Tantangan Edukasi di Indonesia

Ditulis oleh Leticia Cox

Diterjemahkan oleh Melissa Sugiarta

Sepertiga dari populasi Indonesia terdiri dari anak-anak, yaitu sebanyak 85 juta anak, dan menjadikan negara terbesar keempat di dunia.

Pendidikan memberikan manusia informasi, pengetahuan, keterampilan, dan etika untuk mengetahui, memahami, dan menghormati kewajiban kita terhadap masyarakat, keluarga, dan bangsa, serta membantu kita untuk berkembang lebih jauh.

Pendidikan merupakan cara hidup di mana seseorang dapat belajar dan berbagi pengetahuan dengan orang lain. “Pendidikan adalah mesin penggerak utama dalam pengembangan diri. Melalui pendidikan, anak perempuan dari seorang petani dapat menjadi seorang dokter, anak lelaki dari seorang pekerja tambang dapat menjadi kepala tambang, dan anak dari seorang buruh tani dapat menjadi presiden dari sebuah negara yang besar,” kata mantan presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.

Di Indonesia, seperti halnya di sebagian besar negara lain di dunia, anak-anak harus menempuh pendidikan wajib belajar selama dua belas tahun, yang terdiri dari sekolah dasar (kelas 1-6), sekolah menengah pertama (kelas 7-9), sekolah menengah atas (kelas 10-12), dan pendidikan tinggi.

Anak muda dapat memilih antara sekolah negeri nonsektarian yang dikelola negara dan diawasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) atau sekolah swasta atau semi-swasta (Islam, Kristen, Katolik, dan Budha) yang dikelola dan dibiayai oleh Kementerian Agama.

Lebih dari dua tahun setelah pandemi COVID-19, para pelajar dan para pengajar di Indonesia dan di seluruh dunia masih bergulat dengan krisis pembelajaran yang masif. Sebuah laporan pada bulan Juni 2022 dari UNICEF, UNESCO, Bank Dunia, dan lainnya mengungkapkan bahwa sekitar 70 persen anak berusia 10 tahun di seluruh dunia tidak dapat memahami teks tertulis sederhana, angka yang meningkat dari 57 persen sebelum pandemi.

Dampak Covid-19

Pembelajaran di Indonesia sudah berada di bawah ekspektasi kurikulum sebelum terjadinya COVID-19, dengan kesenjangan yang lebar berdasarkan gender, wilayah, disabilitas, dan dimensi marjinalisasi lainnya. Sebagian besar murid yang diuji kemampuan membacanya bertingkat dua di bawah kelas mereka saat ini. Contohnya, murid kelas 5 rata-rata membaca di tingkat kelas 3.

Menurut riset dan survei lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan, yang berakibat pada pelajar dan pengajar yang tidak mengetahui ‘tujuan’ apa yang akan dihasilkan sehingga tidak memiliki gambaran yang jelas dalam proses pembelajaran. Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat bukti adanya peningkatan persentase siswa kelas awal yang tidak dapat membaca.

Dampak COVID-19 telah memperburuk situasi dengan banyaknya sekolah yang tutup dan hilangnya pekerjaan. Anak-anak yang berada dalam situasi rentan mengalami performa yang semakin menurun, termasuk anak-anak dari rumah tangga yang pendapatannya rendah, anak-anak dengan disabilitas, dan anak-anak yang tinggal di daerah yang kurang berkembang, yang paling berisiko tak dapat bersekolah.

Bahkan sebelum pandemi, pernikahan anak sudah menjadi isu di beberapa daerah miskin. Telah terbukti bahwa pernikahan anak telah melonjak selama pandemi karena para keluarga dengan pendapatan rendah berusaha mencari cara untuk mengurangi beban ekonomi mereka.

Pekerja anak sekarang lebih mungkin terjadi di rumah atau untuk mendukung mata pencaharian dalam rumah tangga (misalnya, bertani dan menangkap ikan) karena kebijakan karantina membatasi kesempatan kerja.

Anak-anak Indonesia yang berkebutuhan khusus menghadapi tantangan yang cukup besar. Penelitian telah menunjukkan bahwa disabilitas yang dimiliki oleh anak dan orang tua mempengaruhi pembelajaran mereka dan kesempatan mereka untuk kembali ke sekolah.

Education in Indonesia after Covid-19 – Photo by UNICEF

Sarana dan Prasarana Pendidikan yang kurang memadai

Kualitas sarana dan prasarana sekolah yang kurang memadai juga merupakan bagian dari tantangan edukasi di Indonesia.

Tujuh puluh lima persen sekolah di Indonesia berada di daerah berisiko bencana; negara seluas hampir 800.000 mil persegi ini terpapar pada gempa bumi besar, tsunami, angin kencang, gunung berapi, tanah longsor, dan banjir.

Akses internet yang tidak merata, serta kesenjangan dalam kualifikasi guru dan kualitas pendidikan, menjadi tantangan terbesar dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh untuk anak usia dini dan perbedaan tingkat akses digital di Indonesia menimbulkan kesenjangan yang lebih jauh bagi anak-anak yang termarginalisasi.

Rendahnya Kualitas Guru

Salah satu penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas guru karena proses rekrutmen guru yang tidak fokus kepada memilih tenaga kependidikan yang profesional, tetapi lebih kepada memenuhi kebutuhan pegawai negeri sipil.

Sebagian besar guru tidak memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 UU No. 20 Tahun 2003, yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Sebagai bagian dari proses rekrutmen pegawai negeri sipil, proses rekrutmen guru pada umumnya tidak memperhatikan keterampilan kerja yang dibutuhkan oleh seorang guru profesional.

Dalam satu survei terkini, para guru dalam sistem pendidikan yang mengambil Ujian Kompetensi Guru (UKG), yaitu ujian yang menilai kompetensi dalam mempelajari dan memahami mata pelajaran yang diajarkan, bahkan tidak memenuhi nilai minimum.

Survei tersebut juga menunjukkan jumlah yang tinggi mengenai guru yang berpendidikan di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, yaitu 64,09% untuk sekolah menengah pertama, 61,5% untuk sekolah menengah atas, dan 10,14% untuk sekolah menengah kejuruan.

Profesi keguruan membutuhkan keterampilan kerja yang kompleks. Para guru harus mampu mengajar secara efektif dan memiliki komitmen serta motivasi yang kuat untuk mendidik para siswanya.

Sementara itu, rekrutmen guru dalam sistem rekrutmen pegawai negeri sipil pada umumnya lebih mengutamakan nasionalisme dan pengetahuan umum dan bukan kompetensi mengajar.

Calon-calon guru yang memiliki nilai tertinggi dalam seleksi kompetensi esensial akan berpartisipasi dalam ujian tertulis yang menguji kemampuan manajemen pembelajaran dan pengetahuan mereka tentang mata pelajaran yang mereka ajarkan. Dengan demikian, tidak bisa diketahui tingkat kompetensi seorang guru profesional melalui tes pengetahuan umum secara tertulis.

Pada umumnya, perekrutan guru dalam proses pegawai negeri sipil tidak bisa memilih calon guru yang terbaik – sistem ini lebih mengutamakan nasionalisme dan pengetahuan umum, bukan pengajaran.

Dalam dunia pendidikan, “panggilan” atau gairah adalah hal yang sangat esensial untuk menjadi seorang pengajar, karena hal ini berkaitan erat dengan kecintaan mereka terhadap ilmu yang diajarkan kepada siswa dan antusiasme mereka untuk menggali potensi siswa. Menjadi seorang guru yang baik merupakan hal yang menantang jika itu bukan panggilan hidup.

Ditandatangani oleh

Broken Chalk

 

Referensi

https://ijble.com/index.php/journal/article/view/64/71 

https://www.unicef.org/eap/media/9326/file/Sit An – Indonesia case study.pdf

https://www.unicef.org/indonesia/education-and-adolescents 

https://www.intechopen.com/chapters/81594 

https://jakartaglobe.id/news/poor-quality-of-education-casts-shadow-on-indonesias-future-job-market

Halime Gülsu – Sistem penjara Turki yang gagal berujung pada kematian tragis seorang jiwa yang unik

Halime Gülsu – Sistem penjara Turki yang gagal berujung pada kematian tragis seorang jiwa yang unik. Sebuah resensi buku tentang Kehidupan Halime Gülsu: Guru Surgawi yang Dibunuh di Penjara (2022)

oleh Vivien Kretz

diterjemahkan oleh Melissa Sugiarta

Bagaimana adanya narapidana yang tidak dijatuhi hukuman mati tetapi tetap dibunuh?

Bagaimana warga sipil membayar nyawa mereka? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul ketika memikirkan nasib Halime Gülsu.

Ditulis oleh Zeynep Kayadelen dan diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia Amerika Serikat, Advocates of Silenced Turkey (AST), buku berjudul “Halime Gülsu: Guru Surgawi yang Dibunuh di Penjara,” didasarkan pada kesaksian teman-teman satu sel Gülsu yang menyaksikan detik-detik terakhirnya, serta teman-teman dan keluarganya. Dia meninggal sebagai narapidana di sebuah bangsal penjara di provinsi Mersin, Turki, karena keterbatasan akses terhadap pertolongan medis.

Kini, kisah Halime Gülsu telah direkonstruksi oleh Advocates of Silenced Turkey (AST), sebuah LSM di Turki. Penulis Zeynep Kayadelen memulai karyanya dengan sebuah kata pengantar: “Kami telah mati berkali-kali” (Kayadelen 2022, 9). Keputusasaan memuncak dari kata-katanya. Ia mendedikasikan karya sastra ini untuk mereka yang telah meninggal dalam kematian yang menyakitkan karena memperjuangkan tujuan yang mereka pedulikan.

Dalam novelnya yang tulus, Kayadelen berkisah tentang takdir Halime Gülsu yang menyedihkan. Halime Gülsu adalah seorang guru yang penuh dedikasi, yang mengajar di Turki dan bagian dari gerakan Hizmet. Gerakan ini dipengaruhi oleh ide dan tujuan dari sarjana Fethullah Gulen. Gerakan Hizmet didedikasikan untuk negara Turki yang lebih bebas, setara, dan berkelanjutan.

Gülsu adalah seorang guru yang sangat berbakti. Ia mengajar murid-muridnya selama jam kerjanya dan mendukung mereka ketika banyak dari mereka dianiaya oleh rezim Turki.

Rezim Turki melawan mereka yang berafiliasi dengan Hizmet dan mereka yang menjadi bagian dari gerakan tersebut. Gülsu dan sebagian besar teman-temannya berada dalam situasi yang sulit. Ia merasa setiap langkahnya diawasi. Ia tahu bahwa rezim sedang mengincarnya dan mereka tidak bermaksud baik padanya. Kayadelen menggambarkannya sebagai: “Jika penindasan mereka adalah api, kebencian mereka adalah angin yang mengobarkannya”. Namun, Gülsu pantang menyerah dan menolak kesempatan untuk meninggalkan negaranya. Sebagian besar keluarganya tinggal di Kanada, sehingga ia dapat mengunjungi keluarganya di luar negeri. Namun, ia adalah seorang warga negara Turki yang sangat bangga dan memilih untuk tetap tinggal di sana demi membela diri melawan rezim. Ditekankan beberapa kali dalam buku tersebut bahwa ia melihat dirinya sebagai warga negara Turki dan memutuskan untuk berjuang demi masa depan yang menjanjikan bagi negaranya. Namun, para pemimpin rezim tidak setuju dengan hal ini.

Pada tanggal 20 Februari 2018, Gülsu ditangkap karena menjadi bagian dari gerakan Hizmet. Penangkapannya mengejutkannya. Gülsu tahu bahwa ia sedang diawasi, tapi ia tidak menyangka akan ditangkap dan dipenjara.

Setelah tim Pasukan Khusus Anti-Teror Mersin menjejali seluruh apartemennya dan membongkar semuanya, mereka memborgolnya dan membawanya ke penjara Tarsus.

Gülsu tidak dalam keadaan sehat. Ia menderita lupus eritematosus kronis, penyakit autoimun, dan membutuhkan pengobatan harian dan mingguan untuk mengatasi penyakitnya.

Ketika pasukan Turki mengeluarkan guru tersebut dari rumahnya, ia segera mengambil obat harian dan catatan medisnya untuk dibawa. Sayangnya, Gülsu lupa meminum obat mingguannya selama penahanannya.

Begitu Gülsu tiba di penjara, ia meminta dokumen medisnya, yang menyatakan bahwa ia sakit dan membutuhkan obat mingguan dan bantuan medis, tetapi catatan medisnya tidak ditemukan. Gülsu mendapati dirinya berada dalam situasi yang menakutkan dan membahayakan nyawanya.

Dia dimasukkan ke dalam sel yang terlalu penuh dengan perempuan lain. Sel tersebut dibuat untuk sepuluh orang dengan sepuluh tempat tidur, dan ketika ia memasukinya, kapasitasnya sudah mencapai dua kali lipat dari itu.

Beberapa tahanan memiliki bayi yang diambil dari mereka. Para tahanan perempuan dipaksa untuk memulangkan anak-anak mereka yang masih kecil karena mereka tidak dapat merawatnya di penjara.

Gülsu mengalami semuanya secara langsung: rutinitas, ketidakpastian, dan kisah-kisah para tahanan lainnya, tetapi tidak lama. Tiga bulan setelah penahanannya, Gülsu meninggal karena kelalaian medis.

Gülsu tidak mendapatkan akses kepada obat mingguannya atau mendapatkan perawatan medis untuk penyakit lupusnya yang kronis. Kondisinya semakin memburuk, dan ia mengalami pembengkakan dan benjolan – ia sangat menderita.

Gülsu semakin lemah dari hari ke hari. Ketika kakaknya akhirnya bisa mengantarkan obat kepadanya, semuanya sudah terlambat. Gülsu tidak dapat mengatasi rasa sakitnya, dan penyakit agresifnya telah berkembang terlalu jauh. Menurut para narapidana dan keluarga, Gülsu menyadari hari-hari terakhirnya.

Setelah berminggu-minggu menderita, Gülsu akhirnya diizinkan untuk pergi ke rumah sakit, tetapi sudah terlambat. Setelah ia kembali ke penjara, para narapidana yang telah menjadi sahabatnya harus menggendongnya karena ia terlalu lemah untuk berjalan -mereka merawat, memberi makan Gülsu dan mendoakannya.

Sayangnya, pada April 2018, pukul 3:10, ia meninggal sendirian di koridor penjara. “Seperti kepompong kosong, tubuhnya yang mengering ditinggalkan, tergeletak begitu saja di sana,” tulis Kayadelenin dalam bukunya.

Penulis Kayadelen menceritakan buku ini dari sudut pandang orang pertama, yang memudahkan pembaca untuk menekankan apa yang dialami oleh sang guru selama masa-masa sulitnya di penjara.

Buku Kayadelen adalah pengalaman membaca yang indah, dengan wawasan pribadi tentang apa yang dialami Gülsu selama hari-hari terakhirnya. Melalui berbagai wawancara dengan orang-orang yang bekerja di penjara dan mereka yang berafiliasi dengan Gülsu, organisasi ini mengumpulkan kisah-kisah tentang masa-masa Gülsu di penjara dan menciptakan latar belakang yang kuat untuk sebuah kisah yang diceritakan dengan hati.

Pekerjaan Kayadelen adalah suara yang kuat untuk menentang semua pelanggaran hak asasi manusia di penjara-penjara Turki. Advocates of Silenced Turkey melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam memberikan sebagian dari keadilan kepada Halime Gülsu, “sang guru surgawi”.

Buku tersebut dapat dibeli di sini:https://www.amazon.com/Life-Halime-Gulsu-Heavenly-Murdered/dp/B0BMY9HXYW

The book can be purchased here: The Life of Halime Gulsu: The Heavenly Teacher Murdered in Prison: Kayadelen, Zeynep, Girdap, Hafza, Korku, Ummu, Nazif, Muhsin, Y., E., W., Barbara, Hur, Hande, Silenced Turkey, Advocates of, Publishing, AST: 9798365685956: Amazon.com: Books

 

Siaran Pers: Hari Perempuan Internasional 2023

8 Maret 2023

Selamat Hari Perempuan Internasional! Hari yang didedikasikan untuk merayakan pencapaian perempuan di seluruh dunia, meningkatkan kesadaran akan tantangan yang dihadapi perempuan, dan menentukan cara untuk mencapai kesetaraan gender. Tema tahun ini adalah Perempuan dalam Pendidikan, Teknologi, dan Inovasi, dimana tim perempuan Broken Chalk telah membuat video untuk memperingati hari tersebut, untuk meningkatkan kesadaran akan tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam pendidikan, dan juga untuk mengidentifikasi kesenjangan dan solusi untuk mencapai kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah proses bersikap adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan telah mengejar pendidikan profesional dan karir, tetapi bukan tanpa hambatan. Untuk memastikan kesetaraan antar gender, berbagai metode dan upaya harus disediakan untuk membantu perempuan di seluruh dunia melawan kerugian sosial, politik, atau budaya yang mungkin mereka hadapi.

 

Pasal 28 dari Konvensi Hak Anak mengakui adanya kesempatan yang seimbang dan pendidikan dasar yang wajib untuk setiap anak. Hingga hari ini, 129 juta anak perempuan masih tidak bersekolah, meskipun atas berjalannya waktu lebih banyak anak perempuan dapat mengakses pendidikan daripada sebelumnya. Hak perempuan atas pendidikan yang berkualitas masih dipengaruhi oleh berbagai hambatan berbasis gender, seperti stereotip yang salah, pernikahan dan kehamilan anak, kemiskinan, atau kekerasan berbasis gender. Meskipun sistem pendidikan yang adil terhdap semua gender dapat membangun kemakmuran bagi keseluruhan negara, keluarga-keluarga miskin seringkali memprioritaskan anak laki-laki ketika berinvestasi dalam pendidikan. Padahal, pendidikan untuk anak perempuan juga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi negara mereka.

 

Pendidikan anak perempuan lebih dari sekedar masuk sekolah: Diperlukan lingkungan belajar yang aman yang memungkinkan anak perempuan untuk menyelesaikan proses pembelajaran mereka. Hal ini juga diperlukan agar mereka dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing di pasar tenaga kerja. Namun, di beberapa negara, sekolah masih belum memenuhi syarat-syarat keselamatan, kebersihan, dan/atau sistem praktik pengajaran yang sama. Hal ini menciptakan kesenjangan gender dalam pembelajaran.

 

Tim kami telah merefleksikan tantangan pendidikan yang masih dihadapi perempuan-perempuan di masing-masing negara, disertai dengan solusi yang memungkinkan. Dalam apa yang disebut “Global Utara”, akses anak perempuan ke pendidikan tidak dipengaruhi oleh gender, namun stereotip masih berperan dalam merendahkan perempuan ke bidang sastra dan bukan ke mata pelajaran sains. Di beberapa negara seperti Italia, ketidakadilan dan diskriminasi dalam akses ke pasar tenaga kerja masih terjadi. Di sisi lain, di benua Afrika, kemiskinan berperan penting dalam akses pendidikan. Salah satu kekhawatiran utama adalah realita bahwa bagi banyak anak perempuan, pendidikan ditunda: tidak ada kesinambungan. Inilah yang terjadi di Kenya, dimana krisis yang disebabkan oleh kekeringan dan kelaparan menantang daya tahan pendidikan anak perempuan. Anak perempuan juga putus sekolah karena kehamilan dan pernikahan dini. Di Uganda dan Mozambik, fenomena ini sangat nyata: masyarakat harus menjadi lebih peka terhadap pentingnya menyekolahkan anak perempuan untuk pengembangan sosial. Selain itu, di beberapa negara Asia seperti Indonesia, perkawinan anak masih menjadi penyebab perempuan berhenti sekolah, agar mereka bisa fokus mengurus anak dan rumah tangga. Meskipun pemerintah sedang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak perempuan Indonesia, yang perlu disebarluaskan adalah kesadaran masyarakat akan nilai-nilai dan kepentingan pendidikan bagi anak perempuan. Investasi dalam pendidikan anak perempuan dapat mengubah komunitas, negara, dan dunia. Hal ini dapat memperkuat ekonomi dan mengurangi ketidaksetaraan antar gender. Tantangan lain yang mungkin dihadapi perempuan adalah kasus di Turki, dimana mahasiswi masih menghadapi penggeledahan telanjang oleh petugas polisi.

 

Seperti biasa, misi Broken Chalk adalah menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya pendidikan dalam mewujudkan hak asasi manusia. Tahun ini Broken Chalk akan fokus pada peningkatan akses anak perempuan ke pendidikan dan meningkatkan kesadaran tentang dampak positif dari pendidikan perempuan terhadap masyarakat secara umum serta kesejahteraan ekonomi dan sosial. Karena hak perempuan adalah hak asasi manusia, kami akan terus mendukung upaya pencapaian kesetaraan gender di semua bidang, tidak hanya dalam bidang pendidikan. Kesetaraan gender meningkatkan peluang bagi semua orang dan memungkinkan orang untuk mengejar impian mereka terlepas dari gender. Keadilan mengarah kepada kesetaraan.

 

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Ditandatangani oleh

Broken Chalk

 

Diterjemahkan oleh

Melissa Sugiarta

 

Translated  from https://brokenchalk.org/press-release-international-womens-day-2023/

 International_Womens_Day_2023_Press_Release_Indonesia