Tantangan Pendidikan di Papua Nugini

Ditulis oleh Fenna Eelkema

Pendahuluan

Papua Nugini adalah negara indah yang terdiri dari 600 pulau dan berpenduduk 10 juta jiwa. Ada lebih dari 800 bahasa berbeda yang digunakan di Papua Nugini, menjadikannya salah satu negara dengan bahasa paling beragam di dunia. Setelah dijajah oleh berbagai negara selama 250 tahun, Papua Nugini akhirnya merdeka pada tahun 1975. Sejak memperoleh kemerdekaan tersebut, Papua Nugini berupaya memberikan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas bagi anak-anaknya. Terlepas dari upaya-upaya ini, Papua Nugini masih menghadapi tantangan pendidikan, seperti rendahnya angka literasi, tingginya angka putus sekolah, dan kekurangan guru. Selain itu, sekolah tidak dapat diakses oleh semua anak karena alasan keuangan, kesehatan, atau geografis.

Pendidikan di Papua Nugini

Di Papua Nugini, perjalanan menuju penyediaan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas telah mengalami beberapa transformasi selama lima puluh tahun terakhir. Pada tahun 1973, tonggak penting dicapai dengan berdirinya sistem pendidikan nasional terpadu yang pertama. Sistem ini mengadopsi struktur 6+4+2, dimana siswa menyelesaikan enam tahun di sekolah dasar, empat tahun di sekolah menengah atas, dan terakhir, dua tahun di sekolah menengah nasional atau langsung masuk perguruan tinggi. Terlepas dari niatnya, sistem yang kaku ini membatasi otonomi siswa dalam pembelajarannya, dan sektor pendidikan masih belum mencapai tujuan yang diinginkan.

Pada tahun 1990an, Papua Nugini membentuk sistem pendidikan baru sebagai respons terhadap kebutuhan akan perubahan. Strukturnya diubah menjadi 3+6+4, dengan tiga tahun di sekolah dasar, enam tahun di sekolah menenangah pertama, dan empat tahun di sekolah menengah atas. Pergeseran ini bertujuan untuk menerapkan kurikulum berbasis hasil yang dirancang untuk menyelaraskan pendidikan dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Namun, tantangan tetap ada, dan sistem pendidikan ini kesulitan mencapai tujuan yang diinginkan.

Oleh karena itu pada tahun 2021 terjadi transformasi lagi; struktur 1+6+6 yang baru diperkenalkan, menguraikan kurikulum yang dimulai dengan satu tahun Pendidikan dan Perkembangan Anak Usia Dini, diikuti oleh enam tahun pendidikan dasar dan tambahan enam tahun pendidikan menengah. Ciri khas dari struktur ini adalah mengadopsi kurikulum berbasis standar, menguraikan tolok ukur pembelajaran yang tepat bagi siswa dan memberikan pedoman yang jelas kepada pendidik untuk strategi pengajaran dan penilaian. Diharapkan struktur baru ini akan membantu meningkatkan pendidikan Papua Nugini bagi semua anak.

Tingkat literasi yang rendah

Rendahnya angka melek huruf di Papua Nugini telah menjadi kekhawatiran sejak lama; meskipun telah terjadi perbaikan dalam dua dekade terakhir, masih ada lebih dari tiga juta orang yang buta huruf. Pada tahun 2000, tingkat melek huruf adalah 57 persen; pada tahun 2010 sebesar 61%; dan pada tahun 2015, jumlahnya mencapai 63 persen. Kombinasi keragaman bahasa dan sumber daya yang tidak memadai turut menyebabkan permasalahan yang sudah berlangsung lama ini.

Tingginya angka putus sekolah juga menjadi alasan rendahnya angka melek huruf. Sekitar seperempat anak-anak berusia 6 hingga 18 tahun tidak bersekolah, dan tingkat transisi siswa sekolah dasar ke sekolah menengah pertama hanya 56%. Tekanan ekonomi/kemiskinan, tanggung jawab keluarga, atau sulitnya akses sekolah menjadi beberapa faktor yang menyebabkan siswa putus sekolah.

Untuk menurunkan angka putus sekolah, beberapa sekolah menengah telah mulai menggunakan konsep FODE (Flexible Open Distance Education) atau Pendidikan Jarak Terbuka Fleksibel, yang memungkinkan siswa untuk melanjutkan pendidikan mereka di luar ruang kelas konvensional dengan fleksibilitas; siswa diperbolehkan untuk belajar sesuai keinginan mereka di komunitas mereka, sehingga membebaskan mereka dari keterbatasan pusat kota. Program ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan lebih dari 80.000 siswa kembali bersekolah.

Ingat: selalu ada sesuatu yang bisa membuat Anda tersenyum di dunia ini. Foto oleh Vika Chartier pada Unsplash

Kualitas pendidikan di daerah terpencil

Geografi Papua Nugini yang unik dan banyaknya daerah terpencil membuat penyediaan pendidikan berkualitas ke daerah-daerah yang sulit dijangkau ini menjadi sulit. Kunci pendidikan yang berkualitas adalah guru yang berkualitas. Sayangnya, terdapat kekurangan guru di seluruh Papua Nugini; Kekurangan ini sangat parah bahkan menyebabkan anak-anak tidak dapat bersekolah. Pada tahun 2016, terdapat sekitar 10.000 posisi pengajar yang kosong, dan sebagian besar lowongan tersebut berada di daerah terpencil. Menarik guru ke daerah-daerah terpencil terbukti merupakan perjuangan yang berat. Meskipun inisiatif-inisiatif seperti ‘tunjangan sekolah jarak jauh’ dan beasiswa telah dilakukan untuk mendorong para guru bekerja di daerah-daerah terpencil, rendahnya motivasi dan keengganan untuk bekerja di daerah-daerah terpencil telah berkontribusi pada kekurangan guru yang terus-menerus. Ada pula laporan guru yang berhak menerima tunjangan tersebut namun tidak menerimanya; hal ini membuat beberapa guru enggan melakukan pekerjaan terbaik mereka.

Banyak guru juga belum menerima pelatihan dalam jabatan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dana. Pemerintah selama ini mengandalkan donatur untuk membiayai, namun anggarannya tidak mencukupi. Selain itu, tidak ada struktur atau tempat pelatihan reguler untuk mendukung guru di sekolah. Saat ini, ketika sistem pendidikan sedang bertransformasi menjadi kurikulum berbasis standar 1+6+6, sangatlah penting bagi para guru untuk menerima pelatihan yang tepat agar dapat menerapkan kurikulum tersebut dengan tepat.

Masalah keuangan adalah alasan lain mengapa terjadi permasalahan di daerah terpencil. Keluarga-keluarga di daerah miskin dan terpencil seringkali tidak mampu membayar biaya sekolah, yang jumlahnya mencapai lebih dari setengah pendapatan mereka. Meskipun sebagian biaya sekolah dihapuskan oleh pemerintah pusat pada tahun 1993, sekolah masih mengenakan sejumlah biaya, sehingga menimbulkan hambatan keuangan yang menghambat akses yang adil terhadap pendidikan. Selain itu, kota-kota besar di wilayah perkotaan biasanya memiliki sekolah menengah setempat, sedangkan siswa di daerah terpencil sering kali bergantung pada sekolah berasrama provinsi; menyekolahkan anak Anda ke sekolah berasrama biasanya memerlukan biaya yang lebih besar, sehingga membuat keluarga tersebut mengalami kemunduran yang lebih signifikan.

Kemiskinan dan Pelayanan Kesehatan

Banyak anak di Papua Nugini menghadapi tantangan terkait kesehatan. Beberapa tantangan kesehatan ini berasal dari kemiskinan, yang secara tidak proporsional berdampak pada daerah terpencil dan pedesaan yang dimana 85 persen penduduknya tinggal.

Salah satu tantangan kesehatannya adalah cakupan imunisasi di Papua Nugini terhenti sekitar 60 persen selama hampir sepuluh tahun. Hal ini menempatkan anak-anak pada risiko terhadap penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan dikendalikan melalui vaksinasi. Selain itu, bagi banyak orang, sulitnya mengakses sanitasi dan air minum yang bersih; Hal ini membuat merka sulit untuk selalu menjaga kebersihan sehingga menyebabkan penyakit menular mudah menyebar di kalangan anak-anak.

Malnutrisi adalah masalah kesehatan lainnya di Papua Nugini, yang menjadi penyebab hampir separuh kematian balita. Hampir setengah dari seluruh anak berusia 6 hingga 59 bulan (5 tahun) mengalami pertumbuhan terhambat, yang mengindikasikan kekurangan gizi kronis selama periode kritis perkembangan. Stunting tidak hanya membahayakan peluang anak untuk bertahan hidup namun juga membahayakan kesehatan umum dan pertumbuhan kognitif anak, yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif jangka panjang.

Permasalahan lainnya adalah, bagi banyak orang, fasilitas kesehatan tidak mudah diakses. Rasio dokter terhadap penduduknya adalah satu dokter untuk setiap 17.068 orang, dibandingkan dengan Australia misalnya yang rasionya adalah satu dokter untuk setiap 302 orang. Selain itu, 90% dokter berada di daerah perkotaan, sedangkan 85% penduduknya tinggal di daerah pedesaan, sehingga jumlah dokter di daerah pedesaan tersebut semakin sedikit. Anak-anak sering kali tinggal berjam-jam jauhnya dari klinik kesehatan terdekat, harus menempuh perjalanan yang sulit dengan berjalan kaki, naik perahu, atau menggunakan transportasi lokal yang tidak dapat diandalkan. Kurangnya aksesibilitas ini memperburuk kesulitan anak-anak dalam memperoleh perawatan medis penting dan perawatan lainnya.

Karena letak geografisnya, Papua Nugini sering mengalami bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, tsunami, dan angin topan. Peristiwa ini mengancam kesehatan masyarakat, mengganggu layanan kesehatan, dan meningkatkan kerentanan yang ada.

Untuk mengatasi tantangan kesehatan ini, Papua Nugini harus fokus pada peningkatan layanan kesehatan umum, peningkatan cakupan imunisasi, promosi gizi yang lebih baik, peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan, dan penguatan kesiapsiagaan bencana. Dengan melakukan hal ini, Papua Nugini dapat mengambil langkah signifikan untuk menjamin masa depan yang lebih sehat dan menjanjikan bagi anak-anaknya.

Kesimpulan

Kesimpulannya, lanskap pendidikan di Papua Nugini ditandai dengan kemajuan dan tantangan yang terus-menerus. Sistem pendidikan telah mengalami banyak perubahan, dari struktur yang kaku menjadi pendekatan berbasis hasil. Penerapan struktur 1+6+6 baru-baru ini menunjukkan harapan untuk kurikulum yang lebih sukses. Namun, tantangan dalam pelatihan guru masih ada, yang mungkin berdampak pada hasil kurikulum baru ini.

Rendahnya angka literasi dan tingginya angka putus sekolah terus menghambat kemajuan. Inisiatif seperti Pendidikan Jarak Terbuka Fleksibel (FODE) telah menunjukkan potensi dalam mengatasi angka putus sekolah, namun masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan setiap anak mempunyai kesempatan untuk belajar.

Kurangnya guru yang berkualitas, khususnya di daerah terpencil, menjadi kendala besar karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa terwujud jika ada guru yang berkualitas. Upaya untuk menarik guru ke wilayah ini cukup efektif namun tidak sepenuhnya berhasil.

Hambatan keuangan, masalah kesehatan, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan juga menambah tantangan tersebut. Mengatasi tantangan-tantangan ini sangat penting untuk memastikan lingkungan belajar yang lebih sehat dan sukses bagi anak-anak.

Papua Nugini telah mencapai kemajuan signifikan dalam menyediakan pendidikan yang mudah diakses dan berkualitas. Meskipun perjalanan masih panjang, bangsa ini dapat menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anaknya dengan berupaya dan bekerja sama dengan berbagai organisasi.

Sumber

Papua New Guinea, Education and Literacy. UNESCO. Retrieved from: https://uis.unesco.org/en/country/pg.

Musoke, F. Taking WASH to hard-to-reach schools in Papua New Guinea (2023) UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/stories/taking-wash-hard-reach-schools-papua-new-guinea.

Papua New Guinea; Education, UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/what-we-do/education.

Sanitation in PNG: Estimating impacts and investments required to meet targets (2022) UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/media/2886/file/Sanitation in PNG.pdf.

Kara, A. Challenges of rural schools highlighted (2017) LOOP. Retrieved from: https://www.looppng.com/png-news/challenges-rural-schools-highlighted-67895.

Transforming education through FODE (2023) LOOP. Retrieved from: https://www.looppng.com/png-news/transforming-education-through-fode-121794.

Papua New Guinea: Educational System – overview, Education State University. Retrieved from: https://education.stateuniversity.com/pages/1166/Papua-New-Guinea-EDUCATIONAL-SYSTEM-OVERVIEW.html.

Devette-Chee, K. Illiteracy: A growing concern in Papua New Guinea (2021) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/images/Publications/Spotlight_Vol_14_Issue_7.pdf.

Goro, J. Is Papua New Guinea ready to implement the new 1+6+6 basic education system? (2021) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/index.php/news-events/research-corner/226-is-papua-new-guinea-ready-to-implement-the-new-1-6-6-basic-education-system.

Children in Papua New Guinea; a fair chance for every child, UNICEF. Retrieved from: https://www.unicef.org/png/children-papua-new-guinea.

Papua New Guinea; Health and Human wellbeing (2013) World Vision. Retrieved from: https://www.worldvision.com.au/docs/default-source/school-resources/global-education-png-nutrition.pdf?sfvrsn=2089ee3c_2.

Papua New Guinea tackling the maternal health crisis (2011) The New Humanitarian. Retrieved from: https://www.thenewhumanitarian.org/report/94352/papua-new-guinea-tackling-maternal-health-crisis.

Teacher shortage in PNG hurting rural students (2016) Radio New Zealand. Retrieved from: https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/302786/teacher-shortage-in-png-hurting-rural-students.

Devette-Chee, K. The challenges teachers in Papua New Guinea continue to face (2022) The National Research Institute. Retrieved from: https://pngnri.org/images/Publications/Spotlight_Vol_15_Issue_1.pdf.

featured image Bendera Papua Nugini. “Kumul” terbang tinggi pada 16 September 2022 melintasi Southern Cross. Foto oleh Spencer Wungin pada Unsplash

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *