Tantangan Pendidikan di Bangladesh: Akibat dan Tren Masa Depan Dari Pekerja Anak
Ditulis oleh Anna Kordesch
Diterjemahkan oleh Viona Violetta Sugianto
Para Wanita yang bekerja di pabrik garmen – Foto oleh Maruf Rahman dari Pixabay
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melaporkan bahwa Bangladesh menempati posisi sebagai pengekspor garmen siap pakai terbesar kedua di dunia, yang berkontribusi atas sekitar 6.4% ekspor global garmen di 2020. Akan tetapi, kesuksesan dalam bidang ekonomi ini memiliki konsekuensi yang besar, karena anak-anak berusia 5-17 tahun seringkali tereksploitasi dan dipekerjakan secara ilegal di industri garmen Bangladesh. Kegiatan nonetik ini tidak hanya menghambat mereka dari pendidikan tapi juga menutup kesempatan mereka di masa depan. Tanpa akses terhadap pendidikan dasar, anak-anak ini terpaksa bekerja dengan gaji yang rendah di pabrik, mengurangi kesempatan untuk mendapatkan kemampuan yang mengarahkan mereka ke pekerjaan dengan gaji yang lebih baik di masa depan. Alhasil, mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan pekerjaan bergaji rendah, memperparah lingkaran pekerja anak. Ketidakadaan pendidikan yang berkualitas juga menghambat anak-anak ini dari potensi mereka dan dari kesempatan untuk bebas dari pekerjaan ilegal serta memaksa fisik.
Sebagai pelanggan yang sadar, adalah penting untuk mempertimbangkan seluruh rantai pasok dari pakaian yang kita beli, termasuk dari proses produksinya dan mengakui kemungkinan konsekuensi dari keputusan kita dalam membeli sesuatu. Kita harus ‘bertanya’ apakah kaos yang kita beli telah diproduksi secara etis dan apakah pekerja anak ikut terlibat. Memikirkan kembali pertanyaan ini dapat berkontribusi dalam memberikan ratusan anak di Bangladesh kesempatan untuk mengakses pendidikan berkualitas dan bebas dari rantai kemiskinan.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan isu dari pendidikan tidak merata di Bangladesh, yang diperparah oleh adanya pekerja anak dan kurangnya kebijakan pemerintah dalam memberantas pekerja anak.
Sejarah Singkat Kemiskinan di Bangladesh
Setelah mendapatkan kemerdekaan di 1971, Bangladesh mengalami berbagai tantangan dengan 80% populasinya berada di bawah garis kemiskinan. Tetapi, seiring tahun, pemerintah telah menjadikan pengurangan kemiskinan sebagai prioritas dalam strategi pengembangannya. Alhasil, angka kemiskinan pun telah berkurang dari 80% menjadi 24.3%, yang berarti sekitar 35 juta orang di Bangladesh masih berada di bawah garis kemiskinan (UNESCO,2009).
Upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan telah dibantu dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil, yang didorong oleh kebijakan makroekonomi dan peningkatan dalam ekspor garmen siap pakai. Hasilnya, angka kemiskinan secara keseluruhan telah berkurang dari 13.47% di 2016 menjadi 10.44% di 2022. (Dhaska Tribune, 2022).
Terlepas dari pencapaian ini, tren baru-baru ini menunjukkan adanya kelambatan dalam pengurangan angka kemiskinan di Bangladesh. Terlebih lagi, efek dari kebijakan pengurangan kemiskinan juga tidak rata antara daerah maju dan pinggiran, karena tengah mengalami urbanisasi yang sangat cepat. Ini menunjukkan walaupun adanya kemajuan dalam mengurangi kemiskinan, tantangan tetap ada dalam memastikan pengurangan kemiskinan rata di seluruh daerah.
Walaupun Bangladesh telah mengalami peningkatan ekonomi secara cepat dan termasuk negara berkembang tercepat, ketidaksamaan pendapatan masih signifikan dan menjadi isu utama. Bahkan faktanya, ketidaksamaan pendapatan di Bangladesh telah mencapai tingkat tak terduga sejak 1972. Walaupun ada pertumbuhan di industri ekspor garmen siap pakai, keuntungan dari sektor ekonomi ini belum merata, mengakibatkan ranking yang rendah (133 dari 189 negara di Index Pembangunan Manusia).
Salah satu indikator utama dari ketidaksamaan pendapatan ini adalah pendapatan yang kontras antara populasi terbawah 40% dengan teratas 10%. Bagian pendapatan bagian populasi terbawah 40% hanya berupa 21% sedangkan yang teratas 10% menikmati bagian yang jauh diatas 21%, hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan di pembagian kekayaan (World Bank, 2023). Perbedaan dalam pembagian pendapatan ini menunjukkan perlunya mengatasi isu ini di Bangladesh, karena mengakibatkan tantangan dalam mencapai pembangunan yang merata. Upaya untuk mengatasi isu ini harus berupa komprehensif yang mempertimbangkan faktor seperti kebijakan ekonomi, program kesejahteraan sosial, dan intervensi yang bertarget untuk memastikan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan seluruh populasi secara merata.
Pekerja Anak di Bangladesh
Ketidakmerataan dan perbedaan pendapatan di Bangladesh sangat berefek terhadap pendidikan anak-anak di seluruh bangsa. Pekerja anak sayangnya dapat terlihat di berbagai area di Bangladesh, terutama di area pinggiran dimana angka kemiskinan tinggi dan akses terhadap pendidikan terbatas. Daerah seperti Chittagong, Rajshahi, dan Syllhet terutama memiliki angka pekerja anak yang tinggi karena terletak di pinggiran Bangladesh, menunjukkan ketidakmerataan dalam negeri seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Kemiskinan yang berasal dari ketidakseimbangan ini menghasilkan konsekuensi besar bagi anak-anak Bangladesh, yang terpaksa harus terlibat dalam pekerjaan ilegal untuk mengatasi kemiskinan. Sekitar 3 dari 5 anak-anak bekerja di sektor agrikultur, sedangkan 14.7% bekerja di sektor industri, dan 23.3% sisanya bekerja dalam jasa (Global People Strategist, 2021). Walaupun pemerintah Banglades telah meratifikasi Konvensi Organisasi Pekerja
Internasional di 2022 awal, yang dengan jelas menetapkan batas minimum usia pekerja di Pasal 138, anak-anak di Bangladesh terus menjadi subjek dalam berbagai bentuk pekerja anak, termasuk eksploitasi seksual secara komersil dan pekerja paksa dalam aktivitas seperti mengeringkan ikan dan produksi batu bata.
Salah satu aspek yang bermasalah adalah Undang-Undang Pekerja Bangladesh tidak berlaku untuk sektor informal, dimana kebanyakan pekerja anak berada. Laporan kekerasan terhadap pekerja anak di berbagai sektor, termasuk pekerjaan domestik telah didokumentasi. Di 2018, lebih dari 400,000 anak-anak terlibat dalam pekerjaan domestik di Bangladesh, dengan anak perempuan sering disalahgunakan oleh atasan mereka. Terlebih lagi, berbagai laporan menunjukkan bahwa dari Januari hingga November 2012, 28 anakanak telah disiksa dalam bekerja sebagai asissten rumah tangga (ART). (Global People Strategist, 2021).
Anak-anak ini terpaksa harus bekerja di sektor formal dan informal demi bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan keluarga mereka, mereka juga hamper tidak mungkin kembali bersekolah. Sebuah laporan dari UNICEF menyatakan bahwa anak-anak di bawah usia 14 yang putus sekolah bekerja rata-rata 64 jam per minggunya. Sebagai perbandingan, undangundang pekerja Eropa membatasi jam kerja hingga 48 jam per minggunya termasuk jam lembur. (UNICEF,2021)

Mengunjungi sekolah Subornogram untuk anak-anak Dalit Cobbler.
Matthew Becker, 2012 Peace Fellow, Subornogram Foundation, Sonargaon, Bangladesh
Gambaran Keadaan Pendidikan Sekarang
Masalah mendapatkan Pendidikan di Bangladesh menunjukkan ketidaksamaan yang signifikan, yang berasal dari ketidaksamaan structural dalam negeri dan berbagai kelemahan pemerintahan dalam sektor Pendidikan.
Angka partisipasi sekolah juga menunjukkan perbedaan yang ada, dengan 10% anak-anak berusia SD tidak bersekolah. Dibandingkan anak berusia SD di Bangladesh, perbedaan yang paling besar dapat terlihat diantara anak-anak yang termiskin dan terkaya, yang bisa dihubungkan dengan ketidaksamaan secara keseluruhan antara rumah tangga di dalam negeri. Perbedaan ini juga turut dibahas dalam laporan UNICEF 2019 yang menyatakan bahwa angka kelulusan untuk tingkat SMP adalah 50% untuk anak yang terkaya dan hanya 12% untuk yang termiskin (UNICEF, 2019).
Pemerintahan Bangladesh telah berupaya untuk mengatasi ketidaksamaan dalam
Pendidikan di tingkat SD melalui program transfer tunai bersyarat untuk anak-anak golongan miskin, yang mengcover 40% dari murid-murid daerah terpencil. Akan tetapi, program ini melewatkan beberapa bagian anak golongan miskin, walaupun mereka memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Program ini namun berhasil meningkatkan pendaftaran SD, dengan
7.8 juta anak-anak mendapatkan subsidi masing-masing $1.
Terlepas dari itu, karena pengambilan Keputusan yang bias yang lebih mementingkan nonmiskin, pengeluran pemerintah terhadap pendidikan dialokasikan dengan tidak merata, dengan 68% dari total pengeluaran untuk golongan non-miskin, walaupun golongan ini mewakili 50% dari populasi usia anak SD. (World Bank, 2018) Statistik ini menunjukkan bahwa walaupun adanya usaha dari pemerintah untuk memperbaiki kesempatan mendapatkan pendidikan di Bangladesh, kenyataannya menggambarkan hal yang berbeda, dengan anak-anak di daerah terpencil terus mengalami kekurangan dalam pemerintahan pendidikan nasional.
Kesimpulan
Pendeknya, pendidikan berkualitas penting dalam menghapus kemiskinan dan memberikan anak-anak kesempatan dalam kehidupan yang lebih baik. Membantu anak-anak untuk terlepas dari pekerja anak, membutuhkan penekanan dalam pengurangan di kemiskinan keluarga. Hanya dengan pendidikan berkualitas yang tersedia bagi seluruh anak terlepas dari latar belakang sosio-ekonomi mereka yang dapat memastikan generasi masa depan Bangladesh berhasil di bawah program bantuan pemerintah. Tujuan utama dari pemerintah Bangladesh seharusnya adalah untuk melindungi anak-anak dari efek berkelanjutan pekerja anak dan memastikan pendidikan berkualitas mereka.
Solusi pertama untuk memitigasi pendidikan berkualitas yang tidak merata adalah dengan memperluas kebijakan pemerintah yang kemudian memastikan inklusi keuangan dari yang terpinggirkan. Menerapkan kebijakan makroekonomi yang memprioritaskan kualitas pendidikan. Lebih banyak transparansi dalam alokasi sumber daya pendidikan dapat “memaksa” pemerintah Bangladesh untuk menerapkan perspektif utilitarian. Alokasi sumber daya yang baru ini dapat mengenalkan ketertarikan lebih dalam infrakstruktur seperti rekrutmen angka guru yang cukup di sekolah.
Cara tambahan lainnya untuk mengatasi isu ini adalah dengan pemerintah Bangladesh untuk lebih efektif mempromosikan kesadaran akan pentingnya pendidikan berkualitas. Kampanye kesadaran ini seharusnya tidak hanya mentargetkan area yang maju, tapi juga memprioritaskan area yang terpencil di mana angka kemiskinan terbilang tinggi.
Terlebih lagi, sebelum meningkatkan kesadaran, pemerintah Bangladesh harus fokus dalam menyediakan infrakstruktur yang dibutuhkan yang membantu orang-orang dalam mendapatkan informasi pendidikan. Ini juga termasuk menyelesaikan akar permasalahan dari kemiskinan dalam negeri untuk menciptakan lingkungan di mana anak-anak tidak terpaksa menjadi pekerja dan sebaliknya bisa mendapatkan kesempatan pendidikan dan merasakan masa kecil yang normal.
Memastikan tiap anak memiliki kesempatan untuk pendidikan berkualitas dan lingkungan yang aman merupakan hal yang terpenting.
Rujukan
UNESCO. 2009. “Governance and Education Inequality in Bangladesh.” Accessed April 16, 2023. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000180086/PDF/180086eng.pdf.multi#.
UNICEF. 2021. “The future of 37 million children in Bangladesh is at risk with their education severely affected by the COVID-10 pandemic.” Accessed April 14, 2023.
https://www.unicef.org/bangladesh/en/press-releases/future-37-million-childrenbangladesh-risk-their-education-severely-affected-covid.
UNICEF. n.d. “The Challenge.” Accessed April 2023. https://www.unicef.org/bangladesh/en/education.
Global People Strategist. 2021. “Facts About Child Labor in Bangladesh.” Accessed April 13 2023. https://www.globalpeoplestrategist.com/title-facts-about-child-labor-in-bangladesh/.
Hosen, Aoulad, S.M. Mujahidul Islam, and Sogir Khandoker. 2010. “Child Labor and Child Education in Bangladesh: Issues, Consequences and Involvements.” International Business Research Issues 3, no. 2: 1-8.
Dhaka Tribune. 2022. “Report: 35m Bangladeshis still live below poverty line.” Accessed April 13, 2023. https://www.dhakatribune.com/business/2023/01/22/report-35m-bangladeshisstill-live-below-poverty-line.
World Bank. 2023. “Poverty & Equity Brief.” Accessed April 10, 2023.
https://databankfiles.worldbank.org/public/ddpext_download/poverty/987B9C90-CB9F4D93-AE8C-750588BF00QA/current/Global_POVEQ_BGD.pdf.
Bureau of International Labor Reports. 2021. “Child Labor and Forced Labor Reports.” Accessed April 10, 2023. https://www.dol.gov/agencies/ilab/resources/reports/childlabor/bangladesh.
UNICEF. 2019. “Bangladesh Education Fact Sheets 2020.” Accessed April 13, 2023.
file:///Users/annakordesch/Downloads/Bangladesh-Education-Fact-Sheets_V7%20(1).pdf.
World Bank. 2018. “National Education Profile.” Accessed April 14, 2023.
https://www.epdc.org/sites/default/files/documents/EPDC_NEP_2018_Bangladesh.pdf.






